Tambang Magazine Oktober 2011

Mengapa Menolak Renegosiasi Kontrak?

Pembaca Budiman.

Jauh sebebelum ramai diberitakan media massa seperti sekarang, Majalah TAMBANG berkali-kali memberitakan soal renegosiasi kontrak pertambangan. Pada edisi Juli, kami mengangkat ”Menggugat Kesucian Kontrak”. Edisi sebelumnya kami mendedah ”Kontrak Karya Feeport”. Kami sependapat dengan arus utama pendapat khalayak yang menganggap KK Freeport jauh dari azas keadilan.

Bagaimana dianggap tidak mencederai keadilan kalau untuk royalti emas, misalnya hanya dikutip 1%, sedangkan perusahaan pertambangan Merah Putih, PT Antam Tbk diharuskan menyetor 3,5%. Padahal yang ditambang PT Antam adalah komoditi tunggal sedangkan Freeport hanya komoditi ikutan karena yang utama adalah tembaga.

Untuk ongkos yang kurang lebih sama Freeport mendapatkan dua komoditi, sedangkan Antam cuma satu. Logikanya, yang dapat dua harus ditarik royalti lebih banyak, bukan sebaliknya.

Kini, media massa ramai-ramai memberitakan Freeport, termasuk ke dalam lima pemegang Kontrak Karya yang menolak renegosiasi. Mereka berdalih Kontrak Karya Freeport merupakan kontrak terbaik bagi negara karena sudah memberikan sumbangan ekonomi optimal dibandingkan kontrak sejenis di negara lain. Tapi dengan fakta soal royalti saja, klaim itu sudah terbantahkan.

Freeport sepertinya sangat menikmati yang diberikan rezim terdahulu. Kita bisa memahami mengapa Freeport mati-matian menolak duduk di meja perundingan. Sekali mereka membuang ruang untuk renegosiasi, hal hal yang selama ini menguntungkan siap-siap . Sejatinya, renegosiasi tentu tak hanya ”mengadili” perusahaan, tapi sebaliknya. Perusahaan-perusahaan juga bisa menyampaikan keberatan jika ada pasal-pasal yang dianggap merugikan mereka.

Lebih dari itu rakyat berhak tahu mengenai silang sengkarut kontrak karya pertambangan. Bukankah, seperti termaktub dalam UUD, pengelolaan SDA diusahakan oleh negara dan digunakan sepenuhnya untuk kemakmuran rakyat. Atas dasar itu pula, edisi ini kami kembali menurunkan soal renegosiasi kontrak. Selain wawancara sejumlah nara sumber, kami juga melengkapinya dengan kolom DR Simon F Sembiring, mantan Dirjen Mineral dan Batubara, salah seorang arsitek lahirnya UU No 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. Undang-undang ini mewajibkan semua kontrak pertambangan ditinjau ulang. Selamat Membaca